KEARIFAN LOKAL PADA INSTITUSI PEMERINTAH

Pencitraan tak hanya milik lembaga-lembaga swasta. Institusi pemerintah pun, dalam menjalankan fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, perlu mengedepankan aspek citra.  Konsumendalam institusi pemerintah, yakni masyarakat dan pihak swasta,perlu diedukasi untuk membentuk  consumer imagery  yang positif dan  favourable.  Institusi pemerintah, sebagai stimulan  dan inisiator dalam melakukan program-program pencitraan, perlu menyentuh aspek-aspek keunggulan institusi dengan  tetap berbasis pada kearifan lokal.  Consumer imageryberbasis kearifan lokal  dapat dilakukan dengan melakukan sentuhan pada aspek  perceived risk, perceived quality, danposisi pelayanan pada benak stakeholder.

Dengan mengedepankan kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat, dan menjelmakan nilai-nilai ini sebagai nilai substantif dalam praktek institusi pemerintah, maka akan memberi kontribusi padagood  governance.  Hal ini terjadi, karena  unsur penyelenggara pemerintahan senantiasa menjaga dan mengimplementasikan kearifan lokal masyarakat yang akan membawa insitusi pemerintah menjadi institusi yang terpercaya, kredibel, dan memiliki reputasiyang baik.  Internalisasi  nilai-nilai kearifan lokal dalam membangun pelayanan publik  dalam rangka consumer imagery  yang positif, dapat mendorong motivasi kerja unsur pemerintahan  dan  menjadi kontrol sosial.  Selain itu, unsur penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara pelayanan publik akan saling memanusiakan, mengingatkan, dan menghargai. Dengan demikian, consumer imageryyang  favourable  dapat  terbentuk pada benak masyarakat dan pihak swasta.

Institusi  pemerintah merupakan lembaga penyelenggara pemerintahan yang memiliki  stakeholder  prioritas masyarakat dan pihak swasta.  Harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan denganbaik, atau dikenal dengan istilah  good governance, berkaitan dengan bagaimana memimpin  negara dengan bersih dan bagaimana masyarakat mengatur  dirinya sendiri secara mandiri, serta bagaimana pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab. Pemerintah menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan, dimana aktivitasnya melalui pengaturan publik, pemberian  fasilitas publik, dan  pemberian  pelayanan publik. Pemerintahan yang baik, berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, fokus pada keberdayaan masyarakat dan swasta, bekerja sesuai dengan hukum positif negara, dan pemerintahan yang produktif, efektif, serta efisien. Pilar-pilar dalam  good governance  adalah pemerintah, masyarakat, dan swasta (Sedarmayanti,  2003: 22).  Pemerintah

berfungsi dalam membuat regulasi atau kebijakan publik, melakukan pengendalian dan pengawasan publik, memberikan perlindungan dan pengayoman  pada  masyarakat dan swasta, memfasilitasikepentingan negara dan publik, serta  memberikan pelayanan kepentingan publik.  Sementara itu, dunia usaha berfungsi sebagai penggerak  aktivitas di bidang ekonomi, penyelenggara usaha-usaha kesejahteraan bangsa, penyelenggara usaha-usaha perindustrian dan perdagangan, serta penyelenggara lapangan pekerjaan bagi maysarakat.  Masyarakat berfungsi sebagai subjek sekaligus objek bagi penyelenggaraan urusan-urusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah  dan swasta, serta  sebagai pengontrol kinerja pemerintah dan swasta. Sebagai upaya penyelenggaraan  good governance, maka pemerintah perlu mengedepankan pencitraan pada masyarakat dan pihak  swasta.  Aspek citra menjadi penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.  Dengan bergulirnya otonomi daerah, maka pemerintah daerah menjadi ujung tombak pelayanan pada konsumen. Persepsi  masyarakat dan pihak swasta  dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika melekat dalam waktu lama,akan baik, atau dikenal dengan istilah  good governance, berkaitan dengan bagaimana memimpin  negara dengan bersih dan bagaimana masyarakat mengatur  dirinya sendiri secara mandiri, serta bagaimana pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab. Pemerintah menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan, dimana aktivitasnya melalui pengaturan publik pemberian  fasilitas publik, dan  pemberian  pelayanan publik. Pemerintahan yang baik, berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, fokus pada keberdayaan masyarakat dan swasta, bekerja sesuai dengan hukum positif negara, dan pemerintahan yang produktif, efektif, serta efisien. Pilar-pilar dalam  good governance  adalah pemerintah, masyarakat, dan swasta (Sedarmayanti,  2003: 22).  Pemerintah berfungsi dalam membuat regulasi atau kebijakan publik, melakukan pengendalian dan pengawasan publik, memberikan perlindungan dan pengayoman  pada  masyarakat dan swasta, memfasilitasi kepentingan negara dan publik, serta  memberikan pelayanan kepentingan publik.  Sementara itu, dunia usaha berfungsi sebagai penggerak  aktivitas di bidang ekonomi, penyelenggara usaha-usaha kesejahteraan bangsa, penyelenggara usaha-usaha perindustrian dan perdagangan, serta penyelenggara lapangan pekerjaan bagi maysarakat.  Masyarakat berfungsi sebagai subjek sekaligus objek bagi penyelenggaraan urusan-urusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah  dan swasta, serta  sebagai pengontrol kinerja pemerintah dan swasta. Sebagai upaya penyelenggaraan  good governance, maka pemerintah perlu mengedepankan pencitraan pada masyarakat dan pihak  swasta.  Aspek citra menjadi penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.  Dengan bergulirnya otonomi daerah, maka pemerintah daerah menjadi ujung tombak pelayanan pada konsumen. Persepsi  masyarakat dan pihak swasta  dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika melekat dalam waktu lama,akan

MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER DISEKOLAH MELALUI KEARIFAN LOKAL

Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini.

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.

Dalam konteks tersebut di atas, kearifan lokal menjadi relevan. Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya,  kecamatan, dan kabupaten, setelah  tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka anak-anak kita bisa mencintai desanya. Apabila mereka mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita. Dengan mempelajari kearifan lokal anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.(http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html.). Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada para siswanya. Semua satuan pendidikan siswanya memiliki keberagaman ras maupun agama, dapat menjadi laboratorium masyarakat untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari materi yang dikaji sehingga siswa secara langsung dapat menggali karakter peristiwa kelokalan itu.

Oleh karenanya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004). Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain  maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local)  yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.  Dengan demikian membangun pendidikan karakter disekolah melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Kearifan lokal milik kita sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan India semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal.

Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para siswa yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak seperti plastisin yang bisa dibentuk sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami makna kearifan lokal, cenderung kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat. Hambatan lain yang biasanya muncul adalah guru yang mengalami lack of skill. Akibatnya, mereka kurang mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa membangun pendidikan karakter di sekolah melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan karakter  berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan pendidikan karakter disekolah berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen warga belajar.

 

 

PRESPEKTIF MASHASISWA TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUNDA

Kalau apatisme selama ini diumpamakan dengan air, maka ia adalah air yang terdapat pada sebuah danau. Bila terlalu lama menggenang dapat membuatnya busuk dan berbau. Guna menyikapinya perlu dibuka penggalang yang telah menyumbat aliran agar genangan dapat bergerak secara lancar. Banyak rumusan dan teori untuk kembali menggiatkan aktifisme Mahasiswa, namun akan lebih bijak bila kita menilik nilai nilai kearifan lokal yang tak kalah canggih dengan metode stensilan barat.

Jauh jauh hari sebelum Nietzsche mendedahkan konsep kemanusiaan dalam wacana human to all human, kearifan lokal masyarakat Sunda berkata bila seorang intelektual musti bisa meresapi ungkapan, “Mun aya angin bula-bali, ulah muntang kana kiara, muntang mah ka sadagori.” Artinya kalau ada angin puting-beliung jangan berpegang pada pohon beringin, tetapi pada rumput sadagori. Rumput sadagori adalah sejenis tanaman kecil yang berakar sangat kuat. Bila ditafsirkan, ungkapan tersebut memiliki makna bila rakyat menghadapi masalah baik itu dalam hal sosial, politik, kesejahteraan, kemiskinan dan lain lain sampaikanlah pada mahasiswa untuk mencari solusinya. Mahasiswa dianggap dapat menjadi sandaran karena merekalah yang memiliki kapabilitas dan kapasistan keilmuan untuk menjawab tantangan yang berkembang. Sejarahpun menggariskan, kalau kaum muda merupakan representasi atas aspirasi rakyat yang mereka waliki. Baik itu berupa parlemen jalanan atau melakukan tekanan tekanan politis pada pemerintah incumbent, gerakan mereka terbukti ampuh dalam menumbangkan sistem pemerintahan dan rezim yang terbukti telah bobrok lalu menggantinya dengan rezim baru. Meski datang dengan memakai baju ideologi, latar belakang kampus, asal usul serta agama berbeda beda, namun mahasiswa dapat bersatu bila sudah menginjak ranah yang sifatnya universal, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan mahasiswa, dalam menanggapi masalah kerakyatan musti pula memahami ungkapan, “Ka cai kudu saleuwi, ka darat kudu salogak.” Artinya kesungai jadi satu lubuk, kedarat jadi satu lembah. Mahasiswa harus memiliki kecerdasan dalam berinteraksi dengan rakyat. Dalam istilah politisi Budiman Sudjatmiko disebut dengan membaca lingkungan. Mereka terjun langsung kelapangangan, memetakan masalah lalu mencari solusinya. Jurang antara kaum terdidik dan tak terdidik serta merta hilang lantaran mahasiswa dengan segala kerendahan hati menanggalkan gap intelektualitasnya. Mereka tak merasa menggurui dan rakyat juga tak merasa didikte karena kedua belah pihak sama sama memegang prinsip “Hirup mah ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagede-gede gawe”. (Jangan berlomba-lomba mengejar kedudukan, jangan berebut dalam pekerjaan). Hal paling penting adalah terciptanya sinergi saling menguntungkan. Mahasiswa dapat melaksanan fungsi fungsi sosialnya, sedangkan rakyat dapat terentaskan masalah masalah yang selama ini mereka hadapi.

Guna membentuk karakter Mahasiswa yang tangguh dan siap mengabdi, ajaran sunda buhun mengatakan seseorang harus memenuhi tiga aspek fundamental dalam dirinya,

 

KEARIFAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT PAPUA YANG MULAI TERABAIKAN

Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.

Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.

“Tidak hanya masyarakat pedalaman, tetapi para pejabat dan kaum intelektual pun memiliki noken (tas) untuk menyimpan buku dan barang kebutuhan lain,” papar Kosay beberapa waktu lalu.

Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 – 100.000 per buah.

Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.

Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.

Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.

Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.

Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.

Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.

Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.

Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.

Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.

Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.

Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol “keterbelakangan”. Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.

Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau sebaliknya.

Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.

 

KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM ARSITEKTUR PERKOTAAN

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam ‘wajah atau wacana ke-indonesiaan’ niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.

Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu (Antariksa, 2009b). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans.

Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah.

Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Sayuti, 2005). Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam ‘wajah atau wacana ke-indonesiaan’ niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono (2005:76, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade, 1977). Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut.

Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan), dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.

Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan  konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.

Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.

Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba.  Mereka disebut orang Toba.  Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu:

(1)    kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya,

(2)    huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja,

(3)    onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi,

(4)    homban (mata air),

(5)    huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141).

 Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.

 

Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.

Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan  konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.

Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.

Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba.  Mereka disebut orang Toba.  Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu:

(1)    kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya,

(2)    huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja,

(3)    onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi,

(4)    homban (mata air),

(5)    huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141).

 Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.

KEARIFAN KEBUDAYAAN LOKAL MASYARAKAT MELAYU

Masyarakat Kalbar merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku dan agama, namun dalam masyarakatnya tercipta suatu kerukunan yang sudah berlangsung sejak dahulu. Apabila dilihat dari perkembangan sukunya, masyarakat kalbar terdiri dari masyarakat Dayak, namun sesuai dengan perkembangannya masyarakat Kalbar tinggal di pedalaman, tetapi bagi yang tinggal didaerah pesisir mereka menyebutkan dirinya Melayu, Melayu identik dengan Islam. Hal ini menjadi sebuah ketentuan karena budaya Melayu sangat bernafaskan Islam, atau budaya Melayu bersumberkan nilai-nilai ajaran Islam. Berkaitan dengan hal tersebut maka yang dikatakan Melayu adalah : berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam. Selain itu falsafah Melayu bersendikan hukum agama Islam atau sebuah ketentuan dan hukum dan ketentuan itu berdasarkan Al Qur’an. Apabila kita lihat pendapat dari berbagai ahli asing yang mengkaji tentang masyarakat Melayu, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat Melayu adalah suku bangsa yang maju, selalu mengikuti perkembangan zaman. Seperti pendapat Vallentijn (1712M) menyebutkan bahwa orang Melayu sangat cerdik, sangat pintar dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, sopan-santun, lebih pembersih dalam cara hidupnya dan pada umumnya begitu rupawan sehingga tidak ada manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka, pasa umumnya mereka pengembira.
Orang Melayu itu mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka, tetapi berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga mempelajari bahasa Arab. C. Lekkerker (1916) Menyebutkan jati diri Melayu adalah lebih dari segala suku-suku di nusantara, tidak pelak lagi bahwa banyak penyebaran agama Islam di nusantara, melalui bahasa, kapal mereka berdagang mereka, perkawinan mereka dengan wanita asing dan propaganda langsung. Orang Melayu ditandai paling suka mengembara, suatu ras yang paling gelisah di dunia, selalu berpindah kemana-mana, mendirikan koloni (kampung hunian). J.C. Van Eerde (1919) menyebutkan bahwa orang Melayu adalah sangat enerjik dan penuh keinginan kuat untuk maju. Identitas orang Melayu jujur dalam berdagang, berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal kriminal, sangat suka kepada tegaknya hukum dan bajat yang melekat pada dirinya adalah bidang kesenian, nelayan dan perairan. Adapun ciri-ciri dari bangsa Melayu menurut para penguasa kolonial Belanda, Inggris serta para sarjana asing antara lain sebagai berikut:
1. Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dalam sehari-harinya , dan beradat istiadat Melayu. Adat Melayu itu bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu itu adalah etnis yang secara kultural (budaya) dan bukan mesti secara genealogis (persamaan keturunan darah).
2. Berpijak kepada yang Esa. Artinya ia tetap menerima takdir, pasrah dan selalu bertawakal kepada Allah.
3. Orang Melayu selalu mementingkan penegakan hukum (law enforcement)
4. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini menunjukan sopan-santun dan tinggi peradabannya.
5. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan Ilmu.
6. Orang Melayu mementingkan budaya Melayu, hal ini terungkap pada bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat,menjauhkan pantang larangan dan dosa dan biar mati daripada menaggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya, sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain.

7. Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial. Kondisi ini terlihat pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah dan lain-lain. Orang Melayu harus bermusyawarah/mufakat dengan kerabat atau handai taulan
8. Orang Melayu ramah dan terbuka kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam,
9. Orang Melayu melawan jika terdesak

Faktor yang paling penting dalam mengintegrasikan masyarakat adalah kesepakat diantara warga masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyaraktan tertentu. Konsesus yang disepakati tidak hanya mengakibatkan perkembangan integrasi sosial, tetapi merupakan usur yang fungsional untuk menstabilkan sistem sosial dengan asumsi bahwa sistem sosial dimaksud cenderung mencapai stabilitas atau keseimbangan diatas konsesus para anggota akan nilai-nilai tertentu, mengakibatkan pendekatan fungsional, menganggap bahwa ketergantungan dan penyimpangan yang menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat dan timbulnya perbedaan sosial yang makin kompleks sebagi akibat pengaruh yang datang dari luar.

Adanya pergeseran nilai-nilai budaya pada masyarakat Melayu, tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai itu termasuk di dalam upacara ataupun ungkapan –ungkapan yang berlaku pada masyarakat yang semakin jarang diungkapkan oleh generasi muda. Ungkapan-ungkapan tradisional yang masih hidup di kalangan masyarakat Melayu Kalbar belum terinventarisasi sehingga dikhawatirkan akan punah yag diakibatkan karena adanya pengaruh kemajuan di berbagai bidang tersebut, terutama kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian berkembang dengan pesat, sehingga akan dapat menimbulkan dampak yang negatif dalam kehidupan mental bangsa Indonesia. Selain itu pula dengan adanya media-media modern yang memberikan informasi terkadang masuk tanpa sempat dikontrol lagi yang dapat juga menimbulkan kecenderungan masyarakat untuk melupakan nilai-nilai budaya bangsa yang ada dan hidup di Negara kita.

Ungkapan dan upacara tradisional merupakan salah satu unsur budaya bangsa serta sumber yang dapat memberikan informasi dan pengetahuan dan sebagainya, di mana di dalamnya banyak mengandung nilai-niai yang terdapat di dalam suatu masyarakat, nasehat, pesan, serta petunjuk-petunjuk bagi kita dari jaman dahulu hingga sekarng ini yang dapat berguna bagi kehidupan manusia.
Mengingat begitu pentingnya isi yang terkandung di dalam ungkapan tradisional maupun upacara adapt tersebut maka dilakukanlah upaya untuk melestarikannya dn salah satu jalan yaitu dengan mengadakan pendataan dan pengkajian terhadap ungkapan-ungkapan yang masih hidup di dalam masyarakat Melayu Kalbar tersebut. Dari ungkapan dan upacara tradisional tersebut dapat digali nilai-nilai baik yang berupa nasihat, pujian maupun sindiran yang biasa terjadi dikalangan masyarakat Melayu Kalbar, dan dari ungkapan tersebut dapat dipetik berbagai pelajaran, baik untuk para orang tua, maupun anak-anak, agar tidak bertingkah laku seperti yang terdapat di dalam ungkapan tersebut di atas dan dapat menjadi suri teladan bagi mereka dalam kehidupannya.

KEARIFAN LOKAL DALAM AGAMA (ISLAM SASAK),BUDAYA DAN ALAM

Negara Indonesia merupakan negara yang multikultur dan pluralisme, dengan berbagai macam dimensi-dimensi sosial yang kompleks, baik dari agama, budaya, bahasa, dll. Agama Islam pertama kali datang di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) di mulai dari Kabupaten Lombok Utara, tepatnya daerah Bayan. Agama Islam ketika itu memiliki akulturasi dengan agama Hindu. Persamaan corak ikat kepala nampak dalam agama Hindu Bali menggunakan udeng namun Islam Sasak di Bayan menggunakan sapu’. Dalam ritual keagamaan pun ada sedikit kemiripan seperti adanya Samadhi (semedi). Dalam ritual Samadhi umat Hindu di Pure, sedangkan Islam Samadhi di Inan Bale ( ruangan segi empat, yang di letakkan di tengah-tengah dalam rumah dan bertingkat dengan menggunakan anak tangga). Dalam kajian kosmologi Islam Sasak memiliki filosofi Wetu Telu. Wetu telu ini adalah adalah substansi dari nilai-nilai filosofis, yang diyakini oleh penulis memiliki nilai-nilai local wisdom dan local genius.

Sejarah masuknya Islam di Bayan ini terdapat dalam lontar petung Bayan, yang masih dirahasiakan dan tidak boleh diketahui oleh masyarat umum, maupun oleh keturunan Bayan sendiri, hanya keturunan tertentu yang boleh mengetahuinya, yaitu keturunan Raden Pemangku,dan keturunan pejabat adat. B. Antara Tasawuf, Budaya, Dan Alam Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh ( diperuntukkan tumbuh-tumbuhan). Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ajaran teologi pantheisme antara Allah SWT sebagai Tuhan (pencipta), dan adanya proses penciptaan (waktu) dan makhluk hidup sebagai hasil proses penciptaan.

Ketiga dinamika kosmologis dari ajaran teologi Islam ini mendeskripsikan bahwa makhluk hidup bukanlah satu-satunya yang mempunyai eksistensi, tetapi Allah lebih mempunyai eksistensi. Dalam tradisi pemikiran ketuhanan, dikenal dua metode yang paling mendasar. Pertama, refleksi manusia terhadap alam semesta melalui hukum alam dan menjurus kepada teologi kealaman. Kedua merupakan penyingkapan Tuhan melalui turunnya wahyu. Menurut penuturan Raden Jambianom, salah satu keturunan Raden yang Penulis temui menuturkan bahwa, ajaran Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri, pernah belajar agama, khususnya tasawwuf dan menjadi murid dari Syekh Siti Jenar dengan ajarannya “Manunggal Ing Kawulo lan Gusti”. Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh peradaban. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju. Rumah tinggal suku Bajo asli terbuat dari bahan alamiah, tidak ada satu bahanpun dari produk modernisasi, dimulai dari atapnya yang terbuat dari terbuat dari anyaman jerami-jerami yang dibanjarkan dan dijadikan sebagai atap/ genting. Tembok yang terbuat dari anyaman bambu, dan berlantaikan tanah. Rumah adat harus menghadap ke timur dan ke barat, dan pamali jika menghadap utara Semua itu mengandung makna menyatu dengan alam. Gunung Rinjani merupakan kiblat adat. Suku Bajo atau penduduk Bayan asli memiliki empat wilayah pemerintahan adat, yaitu wilayah Karang Bajo, yang meliputi dusun Lokok Aur,dusun Ancak Timur, dusun Ancak Barat, dan dusun Karang Bajo sendiri. Kemudian wilayah yang kedua adalah Bayan Timur, Bayan Barat dan Senaru, dan yang terakhir adalah Loloan. Dalam sistem birokrasi suku Bajo bukanlah merupakan kerajaan, tetapi merupakan sebuah sistem kedatukan. Inilah yang diungkapkan oleh Kiayi Santri yang bernama Kasianom. Jadi setiap orang boleh menjadi Amaq Lokaq ( pemimpin adat) bisa keturunan Amaq Lokaq yang pernah memimpin, jikalau Amaq Lokaq yang sebelumnya tidak memiliki anak laki-laki atau adik laki-laki atau garis keturuanannya berjenis kelamin laki-laki, maka para pemirintah adat melakukan gundem (musyawarah) untuk memilih calon Amaq Lokaq yang baru, begitupula dengan pemerintahan adat yang lainnya

 

KEARIFAN LOKAL DALAM TATANAN TRADISIONALISTIK

Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan (Rapoport, 1969).
Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong (tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. (Burhan, 2008)
Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut (Mahayani, 1995:35): (1) Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; (2) Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; (3) Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok (Krisna, 2005). Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama.
Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya (Tulistyantoro, 2005). Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008), permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus) menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga (membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)
Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman (pola hunian) baik internal maupun eksternal. Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama (komunal), linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura.

KELESTARIAN KEARIFAN KEBUDAYAAN LOKAL

Saat ini kita telah mengalami banyak sekali kehilangan budaya daerah yang pernah kita miliki. Hal ini disebabkannya karena jauhnya mereka dengan dunia sejarah dan budaya, maka kelunturan cinta pada sejarah dan budaya sendiri makin menyurut bahkan hampir menghilang.

Usaha untuk kembali menggali, mengkaji, melestarikan serta mengambang kembali kebudayaan daerah bukan hanya untuk memperluas wawasan tetapi juga menjadi suatu cara untuk memperkaya pengetahuan masyarakat akan kebudayaan lokal.

Kebudayaan lokal daerah bukan saja sebagai penunjang kepribadian bangsa melaikan juga dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi perjuangan suatu bangsa itu sendiri, untuk dapat mencapai suatu kehidupan yang lebih baik seiring perkembangan dan perjalanan masyarakat itu sendiri.

Dapat dirasakan dan disaksikan akan akibatnya dari dampak kelunturan cinta pada budaya lokal. Harus diakui budi pekerti mengalami kehancuran yang sangat fatal   dan sangat sukar untuk baik kembali. Bagaikan pelita kecil kini tengah diusahakan lewat pendidikan sejak dini , namun terobosan budaya luar sangat tak sebanding terpaanya.

Padahal dahulu para pendahulu telah berpesan dalam amanat bahwa melalui seni budaya serta agamalah yang baik dari manapun akan datang. Ibarat emas dan berlian serta mutiara yang tersebar ditanah ini.

Untuk itu harus segera dilakukan suatu tindakan untuk dapat melestarikan kebudayaan lokal yang sudah hampir menghilang di dalam masyarakat. Pelestarian budaya lokal dimulai dari para generasi muda bangsa yang nantinya mereka akan dijadikan sebagai agen untuk memunculkan kembali kebudayaan lokal ke tengah-tengah masyarakat.

Dengan dilanggengkan eksistensi budaya lokal maka akan dapat menimbulkan semangat dan kreativitas pada jiwa setiap anak muda yang dapat memberikan perubahan dan pencerahan bagi bangsa ini kedepannya.

Para seniman dan budayawan pun harus dapat bersatu memajukan kebudayaan lokal yang ada. Dengan jalinan kerjasam antara seniman dan budayawan maka akan membentuk suatu jaringan pariwisata. Yang nantinya turis asing yang datang tidak hanya tahu tempat pariwisata saja, tetapi tahu juga akan keberadaan keanekaragaman budaya lokal di bangsa ini.