Pendidikan Budaya Minangkabau
Orang Minangkabau sedang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara masa lalu dan masa kini. Maju sulit, mundurpun susah. Godaan masa kini dan masa depan, yang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme global, telah menggoda cukup banyak orang Minang.
Godaan ini tidak saja dialami anak-anak mudanya, tetapi juga melanda banyak orang tua. Ada yang telah hijrah, dan berjalan meninggalkan “rumah budayanya” yang bernama adat Minangkabau. Sekali-sekali mereka kembali lagi menengok masa lalunya, tetapi mereka telah jauh berjalan. Mereka seperti orang yang berdiri di pematang sawah, sambil membayangkan dirinya mencangkul di lumpur yang basah.
Memang himbauan “masalalu” untuk “kembali” cukup nyaring terdengar. Kadang-kadang bergema keseluruh negeri. Ada kecemasan orang Minangkabau tidak lagi menjadi “orang Minang”. Ia mungkin telah menjadi “orang lain”? Malin Kundang yang pulang kampung, tidak lagi si Malin yang dulu pergi. Ia telah berubah. Dan memang harus berubah. Dunia yang membesarkannya tidak lagi tradisi “surau” yang mendidik banyak laki-laki Minang. Ia tumbuh dalam alunan gelombang. Berkembang di antara kota-kota pantai yang kosmopolitan. Hidup dalam keragaman budaya dunia. Masa lalu baginya, adalah sebuah kenangan.
Mengamati kehidupan budaya Minangkabau dewasa ini, mungkin persis seperti melihat orang yang berada di persimpangan jalan. Dalam dekade terakhir, kita begitu sering mendengar, melihat dan mengalami, upaya-upaya untuk menjadikan kembali adat (budaya) Minangkabau sebagai identitas kultural yang harus melekat pada diri orang Minangkabau.
Di sekolah, di sekolah Budaya Alam Minangkabau (BAM) telah lama pula diajarkan. Banyak buku BAM yang telah dicetak. Banyak pelatihan guru BAM yang telah diselenggarakan. Pendidikan adat Minangkabau terus diupayakan. Hasilnya? Jauh panggang dari api. “Malin Kundang kebudayaan” terus saja lahir dan semakin lama mereka semakin besar.
Namun harapan untuk menjadikan kembali adat Minangkabau sebagai identitas kultural belum juga dapat diwujudkan. Anak-anak mudanya mungkin lebih senang jalan-jalan ke mall, dan mengikuti trend mode yang berkembang demikian cepatnya. Tarikan masa depan jauh lebih menggoda. Masa lalu yang dipresentasikan dalam kehidupan adat semakin jauh tertinggal. Kapitalisme global kelihatannya jauh lebih berkuasa dan menggoda. Adat dan budaya Minangkabau hanya tinggal dalam pepatah-petitih.
Gelombang demi gelombang telah mendera orang Minangkabau. Setiap gelombang mendorong perubahan. Pergolakan PRRI telah menorehkan krisis kultural orang Minangkabau. Kekuasan sentralistik Orde Baru, telah menggeser cara pandang orang Minangkabau terhadap kebudayaannya. Kapitalisme global telah mendorong orang Minangkabau menjadi lebih pragmatis.
Siapakah yang salah? Mungkin tidak ada yang salah. Situasi zaman yang melanda orang Minangkabau dewasa memang cukup kompleks. Guru-guru BAM mungkin tidak salah, karena mereka hanyalah bagian dari sebuah sistem pendidikan yang telah didisain secara sentralistik.
Paradigma pendidikan budaya kita memang belum sepenuhnya memberikan ruang yang cukup bagi sebuah proses pendidikan budaya yang memihak pada eksistensi budaya lokal. Apa lagi jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip pendidikan budaya yang sesuai dengan budaya lokal tersebut, seperti pendidikan adat dan budaya Minangkabau.
Pendidikan budaya, seyogianya tidak bisa sama dengan pendekatan pendidikan bidang sosial lainnya, apa lagi dengan bidang pendidikan eksakta. Jika kita lihat paradigma keilmuan yang melekat pada guru-guru BAM, atau guru kesenian yang ada di lembaga pendidikan sekolah, pada umumnya adalah paradigma keilmuan Barat.
Contoh yang paling mudah dapat kita lihat dari paradigma pendidikan kesenian yang telah dikembangkan selama ini di lembaga pendidikan sekolah kita. Pendefinisiannya berdasarkan prinsip kesenian yang hidup di Barat. Kategorisasi kesenian seperti teater, seni rupa, musik dan tari, adalah pendefinisian menurut keilmua Barat, dan sudah pasti tidak akan dapat membangun apresiasi budaya tradisi yang ada dalam khasanah kebudayaan Minangkabau.
Dalam kebudayaan Minangkabau, pendefinisian dan kategorisasi seperti itu tidaklah dikenal. Semua cabang kesenian yang dikategori menurut keilmuan Barat ini, tidaklah dikenal, karena semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai contoh dapat kita berikan, seperti randai. Randai dalam pemahaman kebudayaan Minangkabau, adalah sebuah bentuk kesenian yang di dalamnya ada tari, teater, sastra, musik, dan kesemuanya itu tidak bisa dilihat atau dikaji secara parsial. Semuanya merupakan sesuatu yang utuh.
Dengan paradigma keilmuan “orang luar” ini tidak mungkin prinsip-prinsip dan nilai-nilai adat dan budaya lokal seperti Minangkabau dapat diapresiasi secara baik oleh siswa. Paling jauh, adat dan budaya tersebut hanya menjadi pengetahuan saja. Pengetahuan yang tidak menjadi prilaku pastilah tidak akan menjadi kebudayaan. Dengan demikian, adat dan budaya Minangkabau (BAM) yang diajarkan melalui lembaga pendidikan formal kita hanya akan berhenti sampai menjadi pengetahuan, dan tidak akan hidup sebagai sebuah prilaku sosial, seperti diharapkan dari ajaran adat kita.
Tidak ada jalan lain, kita harus mencari dan menemukan sebuah paradigma baru pendidikan budaya kita, terutama untuk pendidikan budaya Minangkabau. Kita harus mencari modul yang tepat. Menyusun materi yang sesuai, dan mengembangkan sebuah metodelogi yang cocok dengan prinsip-prinsip adat Minangkabau.